Kunci Produktif Menulis: Mengabadikan, Bukan Membuat dari Awal
Daftar Isi
![]() |
Photo by Unseen Studio on Unsplash |
Sejak usia SMP, yaitu sekitar tahun 2013, saya sudah bercita-cita menjadi penulis. Salah satu indikator bahwa impian tersebut sudah mulai saya capai adalah dengan menerbitkan buku. Sayangnya, dengan indikator tersebut, saya baru benar-benar bisa menyebut diri sendiri penulis 10 tahun kemudian. Bertepatan dengan lahirnya buku pertama saya: Termotivasi Tanpa Dimotivasi.
Apakah setelah 10 tahun lamanya, saya baru punya kemampuan menulis yang cukup di tahun tersebut? Sayangnya, tidak. Sejak usia SMA, sekitar tahun 2018, saya menyadari bahwa sebenarnya sudah punya kemampuan dasar dalam menulis. Tulisan-tulisan saya di Facebook cukup diminati banyak orang dibuktikan dengan jumlah share belasan hingga ratusan. Namun, untuk menulis dengan lebih panjang, seringkali kehabisan napas, atau lebih tepatnya ide.
Bisa menulis, tapi sulit untuk menulis terlalu panjang.
Sumber Ide Tulisan Pertama
Buku pertama saya lahir bukan karena "saya ingin membuat sebuah buku", tetapi keinginan untuk mengabadikan perjalanan hidup menjadi sebuah buku. Harapannya, dari tulisan dalam buku tersebut, banyak orang yang terinspirasi dan tidak takut dalam melangkah mengambil keputusan-keputusan besar.
Ya, Termotivasi Tanpa Dimotivasi adalah buku non-fiksi dengan tema pengembangan diri. Namun, studi kasus yang saya gunakan sebagian besar adalah proses saya selama belajar untuk masuk UGM dengan background seorang anak SMA dari desa yang minim privilese. Selain itu, beberapa keputusan saya selama menjadi mahasiswa baru menjadi contoh kasus dalam buku tersebut.
Nah, jadi bisa dibilang buku tersebut cocok untuk usia remaja dan dewasa awal yang bimbang terhadap potensi yang dimiliki dan langkah yang perlu diambil.
Kemudahan dalam Proses Menulis
Jujur, saya menulis buku tersebut tanpa beban yang berarti. Bahkan, dalam membuat draft awal, saya hanya membutuhkan waktu 7 hari saja. Nah, dari draft sejumlah 40-an halaman A5, saya kembangkan menjadi 120-an halaman. Total waktu yang saya butuhkan sekitar 3-4 minggu sudah termasuk layouting (saya menerbitkannya dengan metode self-publish).
Dalam proses menulis tersebut, saya menyadari bahwa tulisan yang bersumber dari pengalaman dan pengetahuan pribadi dapat lebih mudah untuk ditulis. Ini membuktikan hipotesis saya terkait pendekatan paling mudah untuk produktif menulis; tulislah hal-hal yang disukai, hal-hal yang dekat, dan sesuatu yang sedang trending. Jika kita dapat mengkombinasikan ketiganya, tulisan tersebut tidak hanya bagus secara substansi, tetapi juga penyerapannya di pasar.
Ketika menulis untuk media sosial maupun blog, saya juga menerapkan hal serupa. Sebagian besar dari ide tulisan saya adalah keresahan-keresahan pribadi. Hal-hal yang saya tulis, ditarik dari pengalaman dan pengetahuan pribadi. Tidak hanya selesai, tulisan-tulisan tersebut juga 'laku' ketika dikirimkan ke Terminal Mojok.
Sebuah Tips yang Tervalidasi oleh Raditya Dika
Beberapa hari lalu, saya tertarik menonton salah satu podcast unik dari Raditya Dika yang konsepnya bintang tamu bertanya ke host. Nah, di situ salah satu pertanyaan yang muncul adalah cara Bang Radit (sapaan akrab Raditya Dika) dalam membuat sebuah show stand up yang runut, menghibur, sekaligus menjadi satu kesatuan cerita yang saling terkait.
Dalam versi singkat, Raditya Dika mengonfirmasi bahwa kemampuannya dalam berkarya didasari oleh kebiasaannya dalam meng-capture kesehariannya. Misalnya, dia mempunyai kebiasaan untuk menuliskan satu kalimat highlight sebelum tidur, ditulis setiap hari. Dari kalimat-kalimat tersebut, tidak jarang dia bisa mengkategorikan cerita-cerita unik yang bisa dijadikan bahan karyanya. Entah itu tulisan, penampilan stand up, atau bahkan sebuah lagu dan buku Timun Jelita, karya terbarunya.
Raditya Dika berkomentar bahwa banyak orang yang sibuk membuat dari awal, alih-alih menulis sesuatu dari yang sudah dialami. Dari sini saya menyimpulkan bahwa kebiasaan meng-capture atau mengabadikan suatu momen adalah salah satu hal yang perlu dibiasakan agar kita bisa produktif. Jadi, bukan menciptakan karya dari awal, tetapi sebuah panjang tangan dari kejadian-kejadian yang telah kita lewati.
Setelah mengamati kebiasaan diri sendiri selama menulis, seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, hal-hal yang bersifat personal atau sesuatu yang pernah kita alami justru jadi sumber ide terbanyak. Saya bisa menulis panjang lebar ketika keresahan tersebut berasal dari sendiri. Saya bisa membahas lebih dalam ketika hal tersebut sesuatu yang benar-benar dekat dan dikuasai. Jawaban Raditya Dika dalam podcast tersebut semakin memperkuat kesimpulan saya: agar bisa produktif menulis, kita bisa memulainya dengan mengabadikan hal-hal yang kita alami, bukan membuat suatu tulisan dari awal tanpa pengalaman personal.
Kesimpulan
Ketika kita sulit untuk produktif menulis, barangkali kemampuan kita dalam mengabadikan sebuah momen juga kurang. Oleh karena itu, bisa kita mulai dengan merefleksikan dan mengabadikan hal-hal sederhana yang sudah dilewati. Dari situ, barangkali kita dapat menulis lebih panjang, lebih sering, dan sekaligus relevan bagi banyak orang.
Mengabadikan, Bukan Membuat dari Awal memang tidak akan fit untuk semua orang atau semua jenis tulisan, tetapi setidaknya cocok untuk saya dan mungkin sebagian orang lainnya. Namun, tentunya sesuatu yang bersumber dari pengalaman, pengetahuan, maupun keresahan pribadi lebih mudah untuk ditulis. Selain tulisan tersebut akan menjawab pertanyaan orang lain, juga dapat melegakan diri sendiri.
Posting Komentar