Selebgram Illustration |
Dua hari yang lalu, saya baru saja mengaktifkan kembali akun Instagram utama @davidajipangestu yang sempat deactive selama dua minggu lebih. Sebelum itu, saya juga beberapa kali deactive. Sempat aktif sebentar karena ada kebutuhan kuliah, follow-follow an dengan seseorang yang saya kenal dalam suatu acara, dan beberapa kebutuhan lain. Terkadang, media sosial memang benar-benar saya butuhkan. Namun, lebih seringnya kebutuhan tersebut muncul karena kondisi eksternal, bukan kebutuhan yang benar-benar datang dari diri sendiri.
Saya mempunyai kebimbangan hati dalam satu tahun terakhir perihal ke-aktif-an di media sosial. Tidak dipungkiri, media sosial mempunyai banyak manfaat. Saya mendapatkan berbagai informasi penting sesuatu yang saya minati, sekaligus bisa mendapatkan hiburan melalui kiriman teman atau pun akun random yang saya temukan di timeline. Selain itu, melalui Instagram misalnya, saya bisa membagikan pengetahuan dan pengalaman akan sesuatu dengan lebih membumi dan dijangkau lebih banyak orang. Di satu sisi, saya mendapatkan dan dapat memberikan sesuatu yang menghibur sekaligus bermanfaat bagi diri sendiri serta orang sekitar.
Di balik segudang manfaat yang saya dapat, media sosial mempunyai beberapa hal tersembunyi yang seringkali tidak benar-benar kita sadar; dia membuat candu. Lebih jauh, terlalu lama menyelami media sosial bisa membuat kita berpikiran, "Temanku udah dapat pencapaian ini itu, aku kok masih gini-gini aja ya?". Media sosial menjadi medium yang apik untuk ajang membandingkan diri senditi yang seringkali justru bersifat kurang sehat. Kita jadi merasa inferior dan kurang menghargai diri sendiri.
Pertama, masalah candu akan media sosial. Pada setiap hal yang bisa memicu dopamin secara instan, candu adalah suatu hal yang absolut. Layaknya narkoba yang memaksa penggunanya menggunakan dosis yang lebih tinggi setiap kali memakainya, begitu juga media sosial memengaruhi hidup kita. Setiap harinya, jika kita tidak membatasi diri, media sosial akan menyita ruang dan waktu kita dengan durasi yang lebih. Alhasil, waktu yang seharusnya berharga, hanya lewat begitu saja.
Media sosial membuat kita sering kali tidak hidup secara utuh. Kita mempunyai tangan yang berfungsi normal secara anatomi, tetapi hanya digunakan untuk menggulirkan layar beranda yang tiada habisnya. Mata kita yang mempunyai jangkauan yang amat luas, dipaksa menatap satu sudut teknologi yang sebenarnya bisa merusak fungsi organ tubuh kita dalam jangka panjang. Lebih jauh, candu yang dihadirkan media sosial membuat kita menjadi abai terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar. Kita jadi kurang peka. Kepekaan kita menurun secara perlahan.
Kedua, masalah pembandingan diri. Tidak dipungkiri bahwa media sosial menjadi medium yang empuk untuk membagikan hal-hal yang sebenarnya bersifat pribadi. Pencapaian, pertemanan, dan beberapa hal lain yang sifatnya tidak jauh untuk memuaskan diri. Sebagai alat pemuas, sudah sewajarnya sebagian besar dari kita menampilkan sesuatu yang terbaik dari diri kita. Hal-hal yang kita tampilkan di media sosial merupakan hasil dari ratusan percobaan yang kurang sempurna. Alhasil, yang kita tampilkan adalah sesuatu yang terbaik versi diri kita.
Hal tersebut membuat media sosial katakanlah Instagram menjadi medium tempat orang-orang melihat berbagai gemerlap dari banyak individu. Jika kita tidak bisa melihat dengan jernih, gemerlap tersebut menjadi bumerang bagi diri kita sendiri seperti yang sudah saya singgul di awal, "Temanku udah dapat pencapaian ini itu, aku kok masih gini-gini aja ya?". Kita membandingkan diri dengan orang lain tanpa memahami bagaimana proses yang terjadi di baliknya.
Dari berbagai pertimbangan atas manfaat dan potensi masalah yang akan kita alami dalam menggunakan media sosial, sudah selayaknya kita menggunakan teknologi ini dengan lebih bijak. Alih-alih dikendalikan oleh media sosial, kita harus menjadi pengambil keputusan utama dalam segala hal terkait media sosial. Termasuk tentang pilihan media sosial yang akan kita pakai. Pertanyaan inti muncul: mengapa kita tidak memiliki satu akun media sosial saja?
Jawabannya mungkin beragam bagi setiap individu. Namun, keputusan kita untuk memiliki banyak akun media sosial bisa jadi merupakan rekayasa kebutuhan yang diciptakan oleh korporasi dan lingkungan sosial yang kita diami. Perusahaan pengembang media sosial membuat fitur yang dapat menghubungkan kita dengan banyak orang di luar sana dengan bermacam variasi fitur turunannya. Setiap media sosial, mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Alih-alih memilih salah satu, sebagian besar dari kita memutuskan untuk menggunakan beberapa platform media sosial.
"Tapi, aku menggunakan Instagram dan Twitter sekaligus karena memang benar-benar butuh keduanya..."
Mungkin, banyak dari kita juga berpikiran seperti itu. Kita merasa butuh lebih dari satu media sosial. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah kita tidak mau ketinggalan sesuatu yang ada di platform tertentu. Setiap orang mempunyai preferensi media sosial sehingga jika ada seseorang yang terhubung secara emosional dengan kita, maka kita cenderung ikut untuk menggunakan media sosial yang ia pakai. Dalam konteks penggunaan Instagram, sangat mungkin kita pertama kali memutuskan menggunakan media sosial ini karena sekadar ikut-ikutan saja. Dalam kata lain, ada teman kita yang menggunakannya. Pada akhirnya, kita ingin tahu, ingin mencoba, dan tidak ingin tertinggal.
Beberapa media sosial dan aplikasi chat mempunyai kegunaan yang sebenarnya tidak jauh beda. Media sosial untuk berbagi kiriman kepada followers (atau apapun sebutannya), sedangkan aplikasi chat berguna untuk berkomunikasi dengan kenalan kita dengan lebih intim atau dekat. Jika kita bisa menggunakan salah satu, mengapa kita menggunakan beberapa?
Tulisan ini tidak berusaha menjawab pertanyaan apapun, tetapi ingin mengajak kita untuk sama-sama merefleksikan atas keputusan yang sudah diambil. Menggunakan terlalu banyak barang berarti mengerahkan lebih banyak perhatian ke lebih banyak hal, termasuk dalam konteks media sosial. Artinya, bisa jadi produktivitas kita akan terganggu karena fokus kita terpecah ke terlalu banyak hal.
Less is more.
Mengapa Kita Tidak Memiliki Satu Akun Media Sosial Saja?
Reviewed by David Aji Pangestu
on
6/14/2022 06:59:00 PM
Rating:
Tidak ada komentar: