Memasuki Hari Raya Idul Fitri, kebiasaan keluarga kami (dan banyak keluarga lain di Indonesia) adalah berkunjung ke rumah saudara, kerabat dekat maupun jauh, teman yang sudah jarang bertegur sapa, dan beberapa golongan lainnya. Tujuannya sederhana yaitu selain menyambung silaturahmi, juga sebagai sarana untuk saling bermaaf-maafan karena kesalahan dengan manusia tidak bisa diampuni dengan sekadar berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bagi saya yang jarang bergaul dengan saudara atau kerabat, momen seperti ini cukup langka. Paling tidak ya setahun sekali, hanya saat lebaran. Realitas yang saya harapkan di momen seeperti ini adalah obrolan yang ringan, dua arah, dan menyenangkan. Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi.
Di beberapa kerabat yang saya temui, mereka seolah-olah menjadi pusat alam semesta. Membicarakan diri sendiri panjang lebar, tanpa benar-benar mendengarkan tamunya untuk bercerita. Kalau yang dibicarakan mengandung petuah baik sih nggak masalah. Lebih seringnya, membicarakan kesengsaraan diri dan aib kerabat lain yang malah dibuka. Lebaran bukan sebagai ajang penghapus dosa, malah membuka luka dan memupuknya menjadi dosa-dosa baru.
Ada cerita lain. Kerabat saya hanya hitungan jari yang kuliah. Ketika bertemu yang pernah kuliah, alih-alih bisa diskusi ngobrol ringan dan diskusi santai, dia malah seolah-olah memosisikan dirinya serba tahu dan saya kerbau yang hanya bisa mengiyakan perkataannya. Nasihat-nasihat usang yang tak relevan, larangan yang tak berdasar, dan beberapa hal lain. Karena terlanjur malas, saya diamkan saja. Toh, sekali setahun. Cukup dengarkan sambil bersabar.
Manusia memang egois. Saya tidak menyangkalnya. Membicarakan dirinya sendiri dan orang lain untuk kepentingannya sendiri. Agar terlihat paling benar, serba tahu, dan paling banyak pengalaman. Padahal, kita bukan pusat alam semesta.
Tidak semua orang sependapat denganmu. Tidak semua orang ingin mendengarkan celotehanmu. Maka dari itu, seni mendengar adalah kemampuan yang esensial. Dan memang, seni untuk mendengar tanpa menghakimi adalah kemampuan yang langka.
Sebagai penekanan, kita bukan pusat alam semesta.
Bonus:
Kita Bukan Pusat Alam Semesta
Reviewed by David Aji Pangestu
on
5/06/2022 10:54:00 AM
Rating:
Tidak ada komentar: