Penyakit itu Dinamakan "Penyakit Memiliki"
Daftar Isi
Setiap manusia mempunyai hasrat untuk memiliki sesuatu. Entah itu ingin memiliki suatu barang, kondisi tertentu, atau pun seseorang. Namun, hasrat yang dimiliki manusia tersebut tidak selamanya bakal terpenuhi. Ada yang pada akhirnya bisa kita raih, ada juga yang tidak.
Bagi seseorang yang berhasil memenuhi hasrat kepemilikannya, pasti dia akan sangat senang. Sebaliknya, orang yang tidak terpenuhi keinginannya akan sesuatu, biasanya akan gelisah, tidak bahagia, dan tidak tenang. Di titik ini, hidup tiba-tiba menjadi suram untuk dijalani.
Ketika apa yang kita inginkan tak dapat dimiliki, umumnya kita jadi kurang berdaya untuk melakukan aktivitas seperti biasa. Kalau berada di titik ini atau menghindari hal semacam ini, sudah sepatutnya kamu memahami apa yang aku sebut "penyakit memiliki".
Penyakit memiliki adalah istilah yang aku gunakan untuk menggambarkan seseorang berandai-berandai kondisinya akan bagus atau membaik hanya ketika dia memiliki sesuatu yang tidak dimilikinya sekarang. Ungkapan semacam, "Kalau aku punya MacBook Pro, pasti aku akan sangat produktif" adalah salah satu contoh sederhananya. Jadi, orang yang punya penyakit memiliki ini melegitimasi keadaan tidak produktivitasnya dengan sesuatu yang tidak dimilikinya alih-alih memanfaatkan tools yang ada. Bahasa mudahnya, dia menyalahkan kondisi eksternal untuk ketidakbecusannya mengelola diri sendiri atau dalam dalam konteks ini adalah sikap yang tidak produktif.
Fenomena penyakit memiliki ini sangat mudah kita jumpai dalam sehari-hari. Bahkan, mungkin (semoga tidak) pernah kita alami sendiri. Alih-alih memanfaatkan laptop Asus dengan processor Intel Celeron yang sebenarnya masih sangat berfungsi dengan baik, kita malah hanya berandai-andai memiliki MacBook Pro untuk melegitimasi kemalasan kita untuk produktif. Padahal, kalau memanfaatkan apa yang kita miliki, kita tetap menghasilkan sesuatu, alih-alih menunggu 'kondisi sempurna' yang tidak tahu kapan akan terjadi.
Untuk mengatasi fenomena penyakit memiliki ini, sebenarnya yang dapat kita lakukan adalah mengubah paradigma dari "Saya akan A jika memiliki C" bergeser ke "Saya menjadi A karena mempunyai B". Jika kita kontekstualisasikan dengan contoh sebelumnya, kalimatnya jadi begini:
"Saya akan produktif jika memiliki MacBook Pro" berubah menjadi "Saya produktif karena memiliki Asus Intel Celeron".
Intinya, kita memanfaatkan yang kita miliki alih-alih menunggu sesuatu hal yang tidak jelas kedatangannya ketika akan melakukan sesuatu. Hal ini juga bisa diterapkan dalam hubungan romansa, alih-alih menunggu dia menjadi milikmu untuk bahagia, tetapi jadilah bahagia karena kamu memang harus bahagia. Dengan atau tanpanya.
Sekian,
David Aji Pangestu
*tulisan ini terinspirasi dari buku "Berani Tidak Disukai" dan "Berani Bahagia".
saya mau kasih satu case, penyakit memiliki dalam hubungan romansa yang pernah saya alami. dimana laki" yang tidak bisa bersyukur itu melepaskan wanita yang bersyukur atas apa yang dimilikinya demi kebahagiaannya sendiri. hal ini bukan berarti tanpa lelaki JAHAT itu si wanita tidak bisa bahagia, tapi kembali lagi pada penyakit memiliki yang penulis sebutkan bahwa dalam kasus ini dapat dianalogikan "saya akan bahagia jika tidak bersama X dengan mencari Queen baru dan kesenangan sendiri", dampaknya memang bagus untuk diri si pengkhianat itu (saya menyebutnya pengkhianat karna janji manis yang dia ucapkan hanya bohong semata), namun dampaknya untuk mental pihak lain sangat signifikan.
stop. tapi alhamdulillah, wanita yang di didik sangat mandiri dan disayang oleh orang tuanya, dicukupi banyak hal oleh keluarganya itu sudah mendapatkan kebahagiaan baru di lingkungan baru. walaupun akhirnya, wanita itu menjadi sangattt benci kepada orang yang sudah merendahkan harga dirinya serta menyia"kannya.
dia sudah memaafkan, namun tidak bisa lupa atas perlakuan yang didapatkannya.
konteksnya lebih positivity. terima kasih
seolah-olah kalimat anda terkesan meremehkan kebahagiaan seseorang yang memang benar-benar bahagia bersama pasangannya. hmm, saya pikir anda yang belum berada di posisi itu, anda yang belum menemukan 'hal itu', belum merasakan 'hal itu'. hingga seakan menentang segala hal diluar dari subjektivitas anda.