Kunci Bahagia: Berbagi Tugas Kehidupan
Daftar Isi
Seperti pada tulisan tentang penyakit memiliki sebelumnya, ada (bahkan banyak) orang yang menjadikan faktor eksternal sebagai faktor utama yang memengaruhi dirinya. Aku akan menjadi baik jika kondisi di luar diriku juga sudah menjadi baik, kira-kira seperti itu.
Konsep penyakit memiliki itu tidak hanya berusaha mengontrol kita sesuai dengan keadaan eksternal berupa barang atau kondisi, tetapi juga seseorang. Akibatnya, ada kondisi di mana kita merasa tidak baik-baik saja karena pengaruh eksternal dari orang lain. Entah kita disakiti secara ucapan atau perilaku, baik disengaja atau pun tidak disengaja oleh seseorang. Perasaan merasa disakiti tersebut (terlepas benar-benar menjadi 'korban' atau tidak), membuat kita lagi-lagi terpengaruh oleh kondisi eksternal.
Pemahaman akan kondisi di mana kita mungkin saja menggantungkan diri pada hal eksternal harus kita pahami secara sadar. Sadar menjadi dasar karena tanpa kesadaran, kita tidak akan pernah benar-benar memahami sesuatu yang terjadi dalam diri kita. Berbekal kesadaran bahwa setiap manusia mempunyai 'tugas kehidupan'-nya masing-masing, kita akan lebih mudah mengontrol kondisi dalam diri.
Tugas kehidupan ini memiliki arti bahwa apa yang kita lakukan adalah tanggung jawab kita, sedangkan apa yang mereka lakukan juga tanggung jawab mereka. Dalam suatu kondisi, bisa saja emosi atau kondisi kita terpengaruh oleh tindakan mereka (eksternal), tetapi bukan berarti kita mempunyai 'tugas kehidupan' berupa intervensi langsung terhadap apa yang mereka lakukan. Apa yang mereka lakukan, bukan tugas kita untuk mengurusinya.
Melalui konsep ini, kita diajak untuk mengenal batas antar individu. Walau kita adalah makhluk sosial, batas 'tugas kehidupan' sangat penting agar kita tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan eksternal. Contoh mudahnya adalah katakanlah kamu mencintai seseorang. Sayangnya, seseorang tersebut tidak mencintai balik. Mencintai dia adalah tugas kehidupanmu, sedangkan mencintai balik atau tidak adalah tugas kehidupannya. Mungkin rasa sakit awalnya tetap ada, tetapi jika kita secara sadar menerima bahwa kita tidak bisa mengintervensi secara langsung tindakan seseorang kepada kita, maka berkompromi dengan keadaan akan lebih mudah dilakukan.
Konsep ini sekilas seakan-akan mengajarkan kita untuk 'bodo amat' terhadap orang lain. Namun, bukan itu intinya. Kita boleh memberi 'nasihat' kepada orang lain tentang sesuatu, tetapi bukan konteks memerintah. Bukan untuk mengintervensi secara langsung.
Memahami tugas kehidupan akan membuat kita tahu sejauh mana tugas kehidupan yang kita emban. Indikator tugas kehidupan termudah adalah siapa yang akan menerima dampak akhir dari tindakan tersebut, maka orang tersebutlah yang mengembangkan tugas kehidupan itu.
Semoga kita bisa lebih bahagia dengan mengetahui dan melakukan tugas-tugas kehidupan kita dengan lebih baik! :)
Salam,
David Aji Pangestu
Sedang mempelajari Psikologi Adler
oke, time will heals. and that's truly true. semakin kesini saya menyadari bahwa from that bad experience, ya i learn from it. mulai dari waktu, tenaga, materi, and some values that I've menjadi terbuang dan memberi pengalaman pahit, yangmana seharusnya bisa dialihkan untuk hal" yang lebih berguna.
but it's ok. konsep tugas kehidupan yang penulis sampaikan membuat saya semakin teguh untuk beridealis to my goals, dan betul-betul ingin 'kembali fokus' untuk itu.
cukup payah, terjebak di pengalaman yang hampir sama dengan pengalaman sebelumnya, huft!
saat ini saya berprinsip jika menikah bukan suatu ibadah, maka saya tidak akan pernah menikah. satu hal yang paling penting dan berdampak bagi saya bahwa bahagia tidak hanya tentang cinta.
sekian, stay healthy orang baik!