Bung Karno dan Trio Greco, kelompok musik dari Yunani. /gahetna.nl. |
“Aku lebih senang pemuda yang merokok dan minum
kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yang
memikirkan diri sendiri.”
Saya bersinggungan kembali dengan kutipan yang
bersumber dari perkataan Ir. Soekarno tersebut beberapa hari lalu. Tepatnya, kutipan
itu diutarakan kembali oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang saya temukan
melalui cuplikan video di Instagram. Saya yakin tujuan beliau pasti baik.
Kurang lebih mengingatkan para pemuda agar tidak hanya pintar untuk dirinya
sendiri, tetapi bermanfaat bagi kehidupan bangsa. Walaupun saya juga belum
menelisik lebih lanjut pada saat momen apa beliau mengutarakan kutipan
tersebut.
Sangat disayangkan, kutipan yang jika dalam
perspektif saya itu mempunyai nilai kebaikan agar dapat bermanfaat bagi bangsa,
sering disalahgunakan untuk menyudutkan para kutu buku, sebutan orang yang
gemar dalam membaca buku. Terlepas dari perbandingan dua hal yang sebenarnya
tak bisa disejajarkan karena keduanya mengangkat nilai yang berbeda, yakni
perwakilan dari orang berpaham praksis dan orang berpaham teoretis, kutipan
tersebut agaknya memang menjadi pengingat untuk kita semua untuk memikirkan
hal-hal penting yang dihadapi oleh bangsa. Dan sebenarnya saya lebih cocok
kalau kedua ‘pihak’ dalam kutipan tersebut tidak saling dinegasikan, tetapi
saling melengkapi. Pemuda kutu buku yang memikirkan diri sendiri sekaligus suka
merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa juga banyak, kan? Mengapa
harus salah satu jika kedua hal asyik tersebut bisa diambil keduanya? Ngomong-ngomong,
saya bukan perokok, tetapi tidak anti-rokok juga.
Di sisi lain, saya juga miris jika ada yang
menggunakan kutipan tersebut untuk menyudutkan pemuda kutu buku. Padahal, para
pendiri bangsa mayoritas adalah kutu buku yang ulung. Dan tak sedikit dari
mereka melahirkan beberapa karya fenomenal yang tak bisa dielakkan salah
satunya hasil dari kegemaran membaca tersebut. Ir. Soekarno dalam realitasnya
gabungan dari dua jenis pemuda yang keduanya seolah dinegasikan dalam
kutipannya tersebut; perokok, suka diskusi, dan kutu buku.
Salah satu pesan penting yang bisa dapat saya
dapatkan dari menyebarnya kutipan tersebut adalah niat baik tidak selalu
berujung baik. Ganjar Pranowo maupun Ir. Soekarno sendiri ketika mengucapkan ungkapan
tersebut pasti punya niatan baik; agar pemuda tidak hanya sibuk dengan dirinya
sendiri, tetapi juga memikirkan keadaan bangsanya. Namun, karena kutipan
tersebut tiba di telinga yang salah, malah yang digaung-gaungkan malah hanya
poin “kutu buku yang memikirkan diri sendiri”-nya saja. Pandangan yang seperti
itu kurang arif karena tidak melihat kutipan secara keseluruhan alias melihat
dari sudut pandang yang sempit.
Makna “memikirkan diri sendiri” dalam kutipan
tersebut juga masih multitafsir. Kalau kepentingan dalam diri sendirinya juga
dapat bermanfaat bagi bangsa walaupun secara tidak langsung, kenapa tidak?
Lagian, Indonesia itu negara demokrasi. Kalau mau menjadi negara demokrasi yang
maju, salah satu syaratnya adalah masyarakatnya harus cerdas. Kalau masyarakatnya
cerdas, opini-opini yang dibangun oleh masyarakat juga akan cerdas. Bagaimana
caranya menjadi cerdas? Salah satunya dengan banyak membaca buku. Walaupun pada
akhirnya, membaca buku saja tidak cukup. Harus diimbangi dengan kegiatan
lainnya, misalnya membaca keadaan bangsa.
Membaca buku dan memikirkan keadaan bangsa
tidak perlu saling dinegasikan, keduanya bisa saling beriringan.
Tidak ada komentar: