Tidak terasa, sekarang saya sudah menginjak semester 2 dan akhir bulan Maret 2021 ini akan melaksanakan UTS (Ujian Tengah semester). Padahal, rasa-rasanya baru kemarin masuk dunia perkuliahan. Dan oleh sebab itu, saya bisa sedikit menjawab terkait pertanyaan yang mungkin menjadi momok bagi sebagian orang. Khususnya bagi teman-teman yang ingin masuk UGM dan secara umum bagi yang mau melanjutkan ke jenjang masuk perguruan tinggi.
Perlu digarisbawahi, bahwa apa
yang saya sampaikan pada tulisan ini sesuai apa yang saya alami beberapa waktu
ini dalam menjalani perkuliahan di Departemen Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Namun, sebisa mungkin
saya mencocokkan pengalaman empiris ini dengan kehidupan akademik di UGM secara
umum. Lebih-lebih, bisa menggambarkan secara luas lebih dari itu.
Oh ya, dunia
perkuliahan cukup berbeda dengan dunia sekolah. Kalau masih sekolah dulu, saya
rasa sangat mudah untuk mencari referensi di Google sekalipun. Buku digital dan
fisik pun juga sangat mudah untuk didapatkan. Bahkan, kalau ada kesulitan dalam
menjawab soal, biasanya akan sangat mudah untuk terjawab ketika kita meluncur
ke Brainly. Sudah, mengaku saja. Kamu pas sekolah sering kan pakai situs ini
untuk menjawab soal? Hahaha.
Namun, ketika kuliah, tidak semudah
itu ferguso. Karena di kampus itu kita mempelajari ilmu secara spesifik dan
mendalam, maka referensi tak sebanyak materi-materi umum ketika di sekolah.
Kalau pun ada di internet, kebanyakan berupa jurnal ilmiah yang tulisannya
kecil-kecil dan cukup pedih di mata kalau dibaca terlalu lama pakai smartphone.
Ditambah lagi, referensi tersebut kebanyakan berbahasa Inggris. Cukup jarang
yang berbahasa Indonesia. Kalau pun ada, biasanya tak sebagus yang berbahasa
Inggris kualitasnya.
Beberapa mata kuliah yang saya
jalani di semester dua ini, juga ada yang tak ada referensi bersifat
fundamental yang berbahasa Indonesia. Maksudnya, tidak ada buku atau jurnal
yang membahas konsep dasar dari mata kuliah tersebut yang memakai bahasa Indonesia.
Bahasa Inggris semua. Ditambah lagi, buku-buku tersebut juga tidak dijual di toko
buku fisik Indonesia. Mau tak mau, kalau memiliki bukunya, harus beli di Amazon
atau Google Play Books (itu pun kalau ada).
Berkaca dari pengalaman saya tersebut, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa kuliah di UGM atau di perguruan tinggi mana pun itu harus bisa bahasa Inggris. Setidaknya, terus berusaha untuk bisa. Kalau konteksnya mahasiswa reguler seperti saya, pihak kampus tidak mewajibkan secara tertulis. Namun, lebih ke tuntutan akademik agar bisa menjalani perkuliahan dengan maksimal.
Ditambah lagi, referensi ilmiah itu memakai bahasa Inggris “tingkat
tinggi”, jarang kita temui kalau hanya suka nonton film bahasa Inggris.
Solusinya, ya perbanyak kosa kata dengan terus membaca walaupun dalam beberapa hal
kita belum paham akan makna bacaan tersebut. Jangan lupa untuk belajar tata
bahasa. Saya pun juga sedang dalam proses ini, berusaha untuk bisa. Mengingat,
saya tak mempunyai background pendidikan yang mentereng sehingga bisa dengan
mudah menguasa bahasa Inggris. Namun, itu jangan sampai menjadi alasan dan halangan.
Dan juga, setelah saya mengamati referensi di jurusan lain juga tak jauh berbeda. Kebanyakan juga bahasa Inggris. Hal ini terjadi karena bahasa Inggris merupakan bahasa Internasional dan kebanyakan dari penutur asli bahasa inilah yang terus produktif dalam memproduksi ilmu pengetahuan. Negara-negara barat yang menjadi kiblat pengetahuan saat ini. Mau tidak mau. Walaupun, tidak menafikkan fakta bahwa negara-negara di timur seperti Asia Timur juga tak kalah hebatnya dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan. tapi ya lagi-lagi, produk dari timur pun akan mendapatkan legitimasi lebih kalau sudah berbahasa Inggris. Bisa dibaca dengan mudah oleh semua masyarakat internasional.
Oh ya, sebenarnya tak hanya referensi
berbahasa Inggris saja yang memakai “istilah tinggi”. Namun, yang berbahasa Indonesia
juga. Jadi jangan lupakan belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar jika
ingin survive di dunia perkuliahan.
Saya rasa, bahasa Inggris juga merupakan basic skill buat siapapun yang hidup di abad 21 ini. Untuk mempelajari banyak hal, mengenal lebih banyak orang, meniti puncak kariri, bahasa Inggris adalah kemampuan fundamental bagi setiap orang. Tak ada kata terlembat untuk belajar.
David Aji Pangestu
Mahasiswa UGM
Tidak ada komentar: