Beberapa bulan sebelum tulisan ini dibuat, saya tak begitu tahu tentang Korea. Mungkin yang paling saya tahu ya fakta bahwa kebanyakan teman perempuan (dan beberapa laki-laki) saya banyak yang mengidolakan publik figur dari negara tersebut. Baik aktor tampan dan cantik nan berbakat yang membintangi Drama Korea, atau pun personil boy band dan girl band yang tak kalah memukaunya.
Apapun itu, Korea, khususnya Korea
Selatan berhasil memukai dunia melalui karya-karyanya. Walaupun sebagian orang,
memandang negatif pada beberapa oknum fans mereka yang terkadang berlebihan.
Namun, jika tidak merugikan orang lain, itu masih normal. Fanatisme terjadi di
mana-mana. Tak hanya yang merujuk pada negara ginseng ini.
Sulit membayangkan, bahwa Korea
mempunyai sejarah yang sangat kelam. Melalui memoar “Catatan Perang Korea” yang
ditulis oleh Muchtar Lubis, seorang legenda jurnalisme Indonesia yang saat itu
menjadi wartawan perwakilan PBB dari Indonesia, saya menemukan hal yang sebelumnya
tak pernah terbayangkan.
Hal yang paling saya highlight dari
pengalaman beliau ketika menyaksikan Perang Korea secara langsung adalah bahwa
sebagai bangsa, ideologi kita jangan sampai “teracuni” oleh ideologi dari luar.
Jika ada konflik ideologi, bangsa kita ikut tercabik-cabik, jutaan manusia
menjadi korbannya. Korea Utara dan Korea Selatan adalah bukti nyata.
Walaupun Indonesia juga mempunyai
sejarah yang tak kalah kelamnya, saya bersyukur negara kita tetap bersatu
sampai sekarang ini. Keputusan pemimpin kita untuk ikut dalam Gerakan Non-Blok
sudah sangat tepat. Saya rasa, ini salah satu keberuntungan sejarah yang bangsa
kita alami. Tak bisa dibayangkan, jika bangsa kita berperang dengan saudara
sendiri demi ideologi yang datangnya dari luar.
Korea Utara dengan pemimpin
kharismatiknya melawan Korea Selatan yang saat itu seperti menjadi boneka
Amerika Serikat saling mengadu kekuatan. Yang satunya disokong oleh Uni Soviet,
satunya lagi oleh Amerika Serikat atas nama PBB. Perang yang cukup rumit, dunia
ikut tegang. Tentara Filipina pun ikut dikerahkan untuk membantu Korea Selatan
yang pertama kali digempur oleh saudara beda negaranya.
Ngomong-ngomong tentang Tentara
Filipina, dalam buku ini, salah satu dari mereka ada yang bilang kalau tak akan
jatuh cinta pada perempuan Korea. Katanya, mereka itu sangat jorok. Pupuk di kebunnya saja kala itu bersumber dari kotoran manusia. Belum lagi, ditambah
keadaan perang yang membuat mereka tak pernah mandi dan ganti baju. Orang Korea
tak mengerti sytle. Kalau tidak atasan putih bawahan putih, ya atasan
putih bawahan hitam. Selalu seperti itu.
Membaca bagian itu, membuat saya
semakin tak percaya bahwa negara sekeren Korea pernah mengalami masa sekelam itu.
Masa di mana mayat busuk atau pun yang segar tergeletak di pinggiran jalan Kota
Seoul dan Busan. Warga sipil menjadi korban atas pembunuhan tak kenal ampun
karena dituduh menjadi mata-mata pihak lawan. Ini realitas sejarah, tak bisa
kita bantah.
Saya memang jatuh hati pada kebangkitan
Korea dari jurang keterpurukan. Namun, saya lebih bersyukur lahir di Indonesia dengan
segala keberagaman dan kekurangannya saat ini. Dengan skala yang besar di
berbagai bidang, raksasa bernama Indonesia akan memimpin dunia. Suatu saat
nanti.
Semangat berjuang, Generasi Emas
2045.
Baca juga: Sisi Lain Pemimpin Besar Revolusi
Tidak ada komentar: