Sebelum membaca buku ini, jujur saya belum pernah membaca secara sadar kisah hidup sang ulama besar dari Tebuireng ini. Yang saya tahu, hanya sebatas bahwa beliau putra dari KH. Hasyim Asy'ari—pendiri Nahdlatul Ulama—dan ayah dari Gus Dur—Presiden ke-4 Republik Indonesia. Selain itu, tak banyak yang saya tahu. Mungkin, hanya sekelibat kisah kematian beliau dikarenakan kecelakaan. Itu pun saya lupa bacanya di mana.
Salah satu hal yang paling membuat saya "wah" ketika membaca buku ini adalah bagian yang mengisahkan kepedulian beliau terhadap pendidikan di pesantren. Setelah pulang dari menempuh pendidikan di Mekkah, beliau mengusulkan kepada ayahandanya untuk merombak kurikulum dan metode belajar yang ada di pesantren.
Hal yang paling beliau soroti adalah metode sorogan dan bandongan yang mengakibatkan santri menjadi pasif serta tidak punya ruang diskusi yang lebih luas terhadap pelajaran yang diajarkan. Selain itu, beliau juga mengusulkan ditambahkannya mata pelajaran umum di lingkungan pesantren. Jadi, tidak hanya belajar soal agama saja. Menurut beliau, para santri juga harus cakap menguasai ilmu praktis yang tidak kalah bergunanya ketika terjun di masyarakat. Beliau menambahkan, lulusan pesantren tidak perlu semuanya harus menjadi ulama.
Namun, usul tersebut tidak sepenuhnya disetujui oleh KH. Hasyim Asy'ari karena dipandang terlalu radikal. Gantinya, beliau mengizinkan KH. Wahid Hasyim membuka madrasahnya sendiri diberi nama "Madrasah Nizamiyah" yang terinspirasi dari sekolah tinggi di Baghdad pada zaman dahulu.
Kurikulum di madrasah ini 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Dalam pelajaran umum tersebut, juga dimuat pelajaran yang mempelajari tulisan latin dan Bahasa Belanda. Walaupun peminat Madrasah Nizamiyah sempat membludak, namun pada akhirnya madrasah ini dilebur dengan Madrasah Salafiyyah yang jauh lebih lama berdiri dikarenakan kesibukan KH. Wahid Hasyim yang mulai tampil di panggung nasional.
Singkat cerita, beliau juga berperan penting dalam pendirian perguruan tinggi Islam yang ada di Indonesia khususnya ketika menjabat sebagai Menteri Agama. Seperti yang kita tahu, perguruan tinggi Islam di masa sekarang terus berkembang pesat. Selain itu, dimasukannya pelajaran agama di pendidikan formal juga campur tangan beliau.
Tidak hanya perihal pendidikan, ketika menjabat sebagai Menteri Agama, beliau juga mengupayakan hal terbaik terhadap jamaah haji asal Indonesia. Beliau menyoroti hal ini karena dalam faktanya, jamaah haji sebelum kepemimpinan beliau sangat sengsara. Mulai kapal yang terlalu banyak penumpang, persediaan logistik yang kurang memadai saat perjalanan, biaya yang sangat mahal, hingga mafia haji yang memanfaatkan berbagai keuntungan dari jamaah yang kebanyakan dari kalangan menengah. Beliau juga yang mengarungi lautan sampai ke Jepang untuk membeli kapal tambahan bagi para jamaah haji.
Oh ya, sedikit kembali ke waktu sebelumnya, yaitu waktu penjajahan Jepang di Indonesia. Di awal pendudukannya, Jepang pernah merangsek ke Tebuireng dan menangkap KH. Hasyim Asy'ari karena dianggap membelot tidak mau hormat kepada Kaisar Jepang. Namun, penahanan itu tidak berlangsung lama. 4 bulan kemudian, beliau dibebaskan berkat kegesitan KH. Wahid Hasyim dalam mencuri hati para petinggi Jepang.
Beberapa tahun kemudian, beliau juga berhasil membentuk Laskar Hizbullah yang merupakan gabungan keinginan Jepang dan Ulama. Laskar ini membuat para santri lihai dalam ilmu kemiliteran dan bisa ikut aktif dalam revolusi fisik. Namun, pada akhirnya, laskar ini dicaplok oleh Kartosoewirjo, pendiri Negara Islam Indonesia karena sikap non-kooperatifnya dalam menghadapi Belanda.
Walaupun begitu, KH. Wahid Hasyim sangat berjasa pada negeri ini. Dengan umurnya yang singkat, pembenahan secara fundamental banyak dilakukan di bidang agama dan pendidikan. Bahkan, beliau juga salah yang berperan penting dalam membentuk dasar konstitusi negeri ini.
Sayangnya, sampai ajal menjemput, beliau belum sempat mempunyai karya pribadi utuh berupa buku. Kebanyakan, masih berupa tulisan pendek yang berserakan di berbagai masalah. Maka, Aboebakar yang ingin menulis biografi beliau juga cukup kesulitan. Untungnya, adik KH. Wahid Hasyim, Abdul Karim Hasyim, pernah menulis kesaksian tentang hidup beliau yang singkat itu.
Buku ini sangat layak dibaca. Walaupun masih tergolong tidak terlalu tebal, buku ini bahasannya cukup mendalam dan intim bagi saya pribadi. Ketika dikisahkan beliau meninggal karena kecelakaan, saya jadi sangat terharu. Sopir dan KH. Wahid Hasyim meninggal. Namun, Gus Dur yang ikut dalam mobil itu selamat. Beliau lah yang menjadi cetak biru ayahnya, sang pelahap buku yang rakus.
David Aji Pangestu
Jember, 3 Januari 2021
Sedikit Catatan dari Seri Buku Tempo: Wahid Hasyim
Reviewed by David Aji Pangestu
on
1/03/2021 09:08:00 AM
Rating:
Tidak ada komentar: